Seberapa Hebat Kamu?

Oktober 18, 2017

Lama banget ngga nulis, terakhir kali ikut lomba nulis, gagal total karena emang ngerjainnya mepet deadline banget. Jelas lah kalo hasilnya ngga maksimal. Padahal lomba itu event yang pas banget buat nerusin hobi nulis biar diterbitin. Yah mungkin emang belum takdirnya.

Daripada nyesel berkepanjangan, mending saya nulis di blog ini, jelas-jelas dimuat tanpa diedit editor haha. Jadi, aku cuma mau berbagi pikiran sedikit di sini. Buat self-reminder diri kita masing-masing aja
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pernah ngga sih kalian merasa pengen banget bisa berguna buat lingkungan kalian tapi kalian ngga tau mau ngapain dan ngga bisa ngapa-ngapain?

Dulu, waktu kecil mungkin kita dianggap hebat oleh banyak orang. Ketika anak-anak seusiamu dulu belum bisa baca buku dan kamu satu-satunya yang udah lancar baca, kamu pun banjir pujian dari orang tua, keluarga, tetangga, dan banyak orang lainnya. Ketika kamu bisa dapat ranking di sekolah dasar, banyak orang menyanjungmu hebat. Semasa kecil, kita bisa menjadi orang yang hebat tanpa usaha yang maksimal. Hanya dengan menggosook gigi sebelum tidur, orang-orang akan bahagia melihatnya. Bukan pujian yang aku tekankan di sini, melainkan menjadi bagian yang dibanggakan, diterima dengan baik, dan dibutuhkan.

Semakin bertambahnya usia, semakin banyak orang-orang hebat yang kamu temui. Banyak orang yang jaauuh lebih hebat dari diri kita. Saat itulah kita merasa terpancing untuk mengikuti jejak mereka, menjadi diri yang lebih baik lagi. Semasa remaja misalnya, banyak orang hebat yang aku temui. Seperti adik kelas yang berhasil dapet medali di OSN Nasional, padahal aku yang juga sempet ikut bimbingannya dan baru baca setengah dari sebuah buku campbell aja udah demam ga karuan. Ada juga yang berhasil juara nulis nasional, padahal baru beberapa kali ikut. Ada juga yang udah punya usaha jualan, punya uang sendiri padahal masih belia. Banyak orang hebat yang jadi kebanggan banyak orang. Sedikit demi sedikit, orang-orang yang semasa kecilnya bersinar, sinarnya hilang. Bukan karena meredup, tapi terkalahkan sinar lain yang lebih terang. Atau bisa jadi ia meredup, mungki karena tergoda dengan kegelapan. Ketika cahaya itu tertutup atau meredup, beban-beban berat itulah yang akan mulai bermunculan. Banyak orang-orang yang dulu

Hal itu terus terjadi hingga masuk usia transisi antara remaja dan dewasa. Dari mulai SMA kita udah mulai punya beban banyak : harus bisa banggain orang tua, harus bisa pinter di kelas, pandai organisasi, pandai bergaul, update dengan segala hal, mulai coba cari-cari tambahan uang saku, dan masiiih banyak beban lain yang push kita buat bisa jadi orang yang bisa 'diandalkan'. Tiap orang punya harapan ke kita, mereka punya ekspektasi dari diri kita. Yang sering aku alamin, ekspektasi mereka itu muncul dari first impression. Ketika awal-awal kenal itu suka ndengerin cerita orang, dia bakal dikenal always listening, always understanding. Ketika dia cuek, ya orang males buat ngajak ngomong. Ekspektasi yang terlalu tinggi dari orang lain ke kita bisa jadi pisau bermata dua. Di satu sisi, kita bakal usaha biar memenuhi ekspektasi yang baik dari temen dan lingkungan kita. Di sisi lain, kalo kita ngga bisa memenuhi ekspektasi itu, kita bakal kelelahan, capek, atau bahkan frustasi. Kenapa? Sebab bisa jadi harapan orang lain itu bukan jati diri kita sendiri, itu bikin kita merasa capeeek banget buat menuhin harapan itu.

Ketika kita udah terlalu lelah dan milih give up, orang-orang bakal sadar ternyata kemampuan kita ngga sebagus yang mereka pikirkan. Pasti akan ada perubahan dan seberapa besar perubahan itu tergantung kondisi lingkungan. Ada lingkungan hebat yang masih tetep nerima kita walau ternyata kita kurang bisa diandalkan. Lingkungan itu bakal tetep friendly sama kita, ngga berubah perlakuannya, tetep bakal ngajak kita komunikasi. Ada juga lingkungan kejam, yang tadinya perhatian banget kita karena kecewa dengan kita, atau mungkin lebih ke arah 'oh, jadi dia biasa aja'. Ada juga case lain, dimana yang salah bukan lingkungannya, tapi orangnya. Dia/kita cuma mengandalkkan kemampuan kita (yang padahal cuma sedikit, b banget) buat nyari temen atau menarik perhatian lingkungan. Kita dengan pedenya koar-koar atau pun pamer kasat mata dengan kemampuan kita yang sebenernya kalo digali ya biasaa banget. Jadi, ketika mereka kagum banget dan  sangat menaruh harapan dan bantuan dengan bisa mengandalkanmu dengan kemampuan itu, mereka bakal sadar -mungkin bisa jadi sampe kecewa/enggak- kalau ternyata kita cuma kamuflase aja biar dapet temen.

Intinya, semakin dewasa seseorang, semkin baaanyaak harapan yang ditaruh di kepala, pundak, lutut, kaki kita. Mereka menaruh harapan buat kita jadi orang hebat kayak kita di waktu kecil. Mereka ingin keberadaan kita bisa memberi manfaat. Mereka ingin bisa mengandalkan kita. Mereka punya mindset kalau kita itu hebat. Ada orang-orang yang benar-benar hebat dan bisa memenuhi harapan lingkungan. Ada juga orang-orang yang sangaaat ingin memenuhi harapan itu karena dia juga sadar, dia ingin jadi orang yang bisa diandalkan. Namun apa daya, dia kurang mampu, lelah, atau muak dengan usaha mati-matiannya buat memenuhi ekspektasi itu. Sudah naluri manusia, dia pasti ingin dikenal baik, hebat, kompeten, bisa diandalkan. Semua orang ingin jadi orang yang dicari kalo ada masalah bukan karena dia pembuat masalahnya, tapi sebagai konsultan solusinya. Tapi sekali lagi, kita punya area jangkauan yang jadi panduan seberapa power yang bisa kita keluarkan. Bagi mereka yang ngga udah sampai area terluar jangkauannya, padahal garis finish masih jauh, dia lelah pasti. Akhirnya, orang itu akan melukai diri sendiri dengan mengorbankan dirinya hanya demi orang lain.

Terus gimana? Apa kita harus bersikap bodo amat dengan harapan orang? Menyerah aja?

Apa kita harus stop aja menuhin harapan orang? Jadi diri sendiri dan hanya peduli pada ekspektasi/ harapan diri kita sendiri? Ya tentu ngga gitu-gitu juga. Harapan orang lain itu jadiin acuan, pedoman, jadi motivasi buat membuat kita jadi lebih baik, jadi makin nambah kemampuan, jadikan semangat buat nambah jangkauan. Jangan jadikan jangkauan itu jadi batas jurang yang udah ngga bisa di lewatin. Jadikan jangkauan itu melebar, memanjang, meluas. Tetapi,

jangan jadikan harapan orang lain sebagai tujuan.

Tujuan dan acuan itu beda. Tujuan itu sebisa mungkin harus banget dicapai. Kalo kita ngga berhasil mencapai tujuan, kita bakal merasa gagal. Dan banyak orang yang susah bangun kalo udah gagal. Jadi, jadikan harapan orang lain sebagai pedoman, pedoman buat kita mengembangkan diri. Jadikan sebagai pedoman buat kita memperluas jangkauan, kalau sudah terlampaui berarti kita berhasil mengembangkan kemampuan. Kalau belum tercapai juga, yakinlah bahwa sebenarnya kita juga orang yang hebat. Mungkin ternyata harapan orang itu ngga sesuai dengan bidang yang kita asli jago di dallamnya. Who knows?

Selain ekspektasi orang, ada juga satu hal yang sering jadi beban : lingkungan. Sama kayak bahasan di atas, semakin dewasa semakin hebat orang di sekitar kita. Di masa SD cuma ada segelintir anak yang hebat menurut orang-orang, masa SMP mulai ada yang bersinar, masa SMA banyak orang yang berebut menyinari, hingga masa kuliah semua orang terlihat seperti bintang yang sama-sama punya sinar tetapi beda kekuatan cahayanya. Aku hidup di lingkungan yang lumayan dikelilingi orang hebat. Temenku ada yang udah kerja di bidang marketing swasta padahal masih kuliah, ada yang udah ngajar padahal aku aja merasa kurang waktu buat belajar, ada yang bisa lobby sponsor acara sampe ratusan juta. Semua orang hebat itu walaupun ngga naruh pressure ke kita, kita sendiri yang akan merasa minder dengan kemampuan mereka yang super sekali. Di sinilah pressure yang sama beratnya kayak yang harapan tadi : ingin menjadi orang yang diandalkan tetapi kurang kemampuan.

Aku percaya kalo semua orang itu bisa diandalkan, dalam bidang yang berbeda. Bisa jadi kita ngga punya kemampuan buat jadi orang hebat kayak mereka, tapi siapa tahu kita punya kemampuan menyemangati mereka. Nyemangatin orang, menghibur orang, itu juga kemampuan penting lho. Kita bisa tumbhin semangat, niat, dan tekad mereka sehingga mereka bisa mejadi orang yang lebih hebat lagi. Dan jika mereka nanti bisa mencapai apa yang mereka inginkan, itu berarti kita juga turut menjadi orang hebat karena berhasil mensupport orang dengan hebat.

Kesimpulannya, seberapa hebat diri kita itu ngga ada yang tahu. Selalu ada langit di atas langit. Setiap orang punya kemampuan dan time-lapse nya sendiri buat bisa jadi orang hebat. Jangan berkecil hati tetapi jangan juga sombong diri. Masih ada yang lebih hebat dari kita, masih ada lagi yang lebih hebat dari manusia, yakni Tuhan Yang Mahakuasa :)

Sekian, mohon maaf kalo banyak bacotnya, ini cuma sekedar self-reminder kita aja. Semangat menjalani hari, good people :)

18 Oktober 2017, 20.24 WIB
Saat lagi nyari selingan karena ngantuk belajar buat kuis AKM 3 bab
Bintaro, Tangerang Selatan

You Might Also Like

0 komentar