Ngobrolin Film : Review Swing Kids (2018)

Januari 16, 2019


https://screenanarchy.com/
Halo! Kali ini penulis akan mencoba mengulas (review) film asal negeri asal hallyu ini : Swing Kids 2018

Film drama musikal besutan sutradara Kang Hyeong-cheol ini mampu memantik beragam emosi penontonnya. Dengan durasi 133 menit, cerita tentang ideologi, minat, dan kebebasan ditampilkan dengan cara yang apik. Suguhan komedi ringan mampu mencairkan suasana di tengah latar konflik Korea Utara dan Korea Selatan seabad lalu. Film yang utamanya membahas tentang tap dance ini tidak sekedar menyuguhkan hiburan, tetapi juga pesan moral perdamaian dunia.

Awalnya, saya tertarik menonton film ini karena Do Kyung-soo (D.O from EXO) menjadi main cast dalam film tersebut. Maklum, saya termasuk golongan fans berat aktor sekaligus member boyband kenamaan asal Korea Selatan. Tanpa menunda lebih lama, segera setelah UAS selesai, saya bergegas ke CGV untuk menonton film ini. Ekspektasi saya tidak terlalu tinggi, sebab alasan saya menonton emang murni sekadar ingin melihat D.O. Saya sudah melihat trailer dan beberapa ulasan mengenai film ini. Ulasan yang baca semuanya menilai film ini pantas untuk mendapat tepukan meriah karena tema dan latar suasananya yang apik.

Poster film Swing Kids di CGV Teras Kota (dokumentasi pribadi)

                Berikut sinopsis ceritanya saya ambil dari Wikipedia :

The story takes place in Geoje prison camp during the Korean War in 1951. Ro Ki-soo (Do Kyung-soo), a rebellious North Korean soldier, falls in love with tap dancing after meeting Jackson (Jared Grimes), an officer from Broadway. Roh Ki-soo then joins Jackson's produced dance group. Kang Byung-sam (Oh Jung-se) dances with the wind in hopes of finding his wife, Xiao Pang (Kim Min-Ho), a Chinese soldier who was born with a talent in dancing but cannot dance for more than a minute due to Angina, and Yang Pan-rae (Park Hye-su) who makes money through dancing, become a group


Awal film kita disuguhi penjelasan perang Korea Utara dan Korea Selatan yang menjadi latar belakang film. Sayangnya, penjelasan ini terasa terlalu cepat sehingga saya kurang tau apa maksud latar film ini. Mungkin ini karena kemampuan saya dalam membaca cepat subtitle kurang bisa diandalkan. Akhirnya, diawal cerita saya hanya mlompong menerka-nerka maksudnya. Namun, seiring jalannya alur, penonton dengan sendirinya akan paham mengenai latar film.

Dari latar tempat yang diambil, mungkin suasana tegang lah yang akan menjadi gambaran awal. Namun, menurut saya, film ini justru dipenuhi dengan suasana ceria khas komedi. Saya dan penonton lainnya sangat terhibur dengan akting Kim Min-Ho yang memainkan peran Xiao Pang. Karakter Xiao Pang yang lucu didukung dengan ekspersi Min-ho menjadi sebuah penyegaran yang baik dan mampu menarik penonton agar tetap mengikuti jalannya cerita. Komedi lainnya muncul dari dialog-dialog para aktor yang memang mengundang tawa.

Di tengah film, konflik batin Ro Ki-soo menjadi bahasan utama. Ro Ki-Soo, seorang penghuni kamp yang berasal dari Korea Utara, tiba-tiba tertarik untuk melakukan tap dance setelah melihat Jackson, tentara Amerika penjaga kamp, menarikannya di aula. Ro Ki-Soo yang berbakat menari segera menguasai tarian itu dan tergila-gila akan iramanya. Ketertarikannya pada tap dance yang identik dengan Amerika atau ideologi komunis yang melekat sebagai jati dirinya membuatnya bingung menentukan pilihan. Apalagi ia dikenal sebagai orang yang sangat anti Amerika. Ia bahkan dielu-elukan sebagai pahlawan oleh warga Korut yang menjadi penghuni kamp. Saking tergila-gilanya Ki-soo pada tap dance, ia bahkan mengigau menarikan tarian tersebut. Ia berlatih di mana pun ia bisa. Setiap mendengar ketukan berirama, kakinya seakan secara otomatis menghentak-hentak mengikuti nada.

Jackson yang membawa tarian tap dance ke dalam kamp menjadi poin penting dalam film ini. Meski sering mendapat perlakuan diskriminatif dari para tentara Amerika berkulit putih, Jackson tetap melakukan tariannya. Ia bahkan menganggap ke empat anak didik menarinya ini sebagai sebuah tim, bukan hanya sekadar menunaikan tugasnya dari atasan untuk menampilkan hiburan di tengah tegangnya suasana kamp.

Konflik cerita ini sebenarnya sederhana, antara minat atau tradisi. Ia ingin menunjukkan bahwa tap dance adalah dirinya. Namun, apa yang akan terjadi jika para simpatisan, teman, dan petinggi Korea Utara tahu ia menarikan tarian musuhnya. Konflik sederhana yang terjadi dalam suasana perang menjadi sajian menarik dalam film ini. Konflik ini biasa terjadi dalam keseharian, apakah melakukan sesuatu menurut kata hati kita atau menuruti perkataan orang lain tentang apa yang seharusnya kita lakukan. Di film ini, Ro Ki-Soo, Jackson, Yang Pan-rae, dan kedua penari lainnya menunjukkan cara mereka bagaimana menghadapi konflik tersebut.

Keceriaan dan tekad gigih menari yang dibawakan kelima penari swing kids membawa kesan unik di tengah latar menegangkan konflik antara kedua negara. Kesan ini seolah menjadi pesan bagi penonton bahwa yang mereka ingin lakukan hanyalah menari. Melalui tarian ini mereka melupakan segala rasa tertekan, kelaparan, takut mati, yang semuanya berasal dari perang panas akibat perbedaan ideologi mereka. Entah dari mana pun asal, negara, dan ras kalian, mari kita menari bersama. Pesan ini disampaikan melalui tarian tap dance mereka yang diberi judul F*ck Ideology.

Kelihaian kelima aktor dalam menarikan tap dance membawa kesan tersendiri bagi saya. Menurut saya, tarian seperti ini cukup jarang dijadikan topik film di ranah perfilman Indonesia, apalagi dibawakan dalam suasana perang. Saya sempat berandai-andai jika film ini dibuat versi Indonesianya, siapa kira-kira yang pantas menjadi para pemeran utamanya. Jika suatu saat nanti di-remake oleh Indonesia, para aktornya tentu harus mau berlatih demi menampilkan tarian sebagus para penari swing kids kita.

Di akhir cerita film, kita akan dibawa ke masa depan di mana Jackson renta yang sedang mengikuti tour para veteran dan menyambangi aula tempatnya melakukan tap dance dengan timnya. Aula tersebut kini sudah menjadi museum untuk mengenang sejarah masa lalu. Saya tidak ingin memberi spoiler akhir cerita di sini. Intinya, melalui grup swing kids inilah kelima orang tersebut hendak menyuarakan kebebasan mereka di tengah kejam dan bengisnya peperangan.

Saya bukan seorang reviewer film, jadi saya bingung apa kekurangan film ini. Jalan cerita, latar yang mampu menampilkan beragam suasana, latar tempat yang realistis, dan backsound juga sudah dipadukan dengan sempurna. Mungkin yang saya merasa kurang nyaman dari film ini adalah bagaimana bisa para kelima aktor ini memiliki wajah bersih. Padahal latar film terjadi di tengah peperangan, apalagi Ki-soo yang dikisahkan aktif berperang sebelum menghuni kamp. Entahlah, mungkin gambaran suasana perang di otak saya terlalu sempit sebab saya selalu berpikir bahwa para pejuang terkena banyak luka ketika berperang.

Intinya, film ini sangat berbobot dan pantas untuk mendapat nilai 8. 

Sayangnya, minat film ini di Indonesia kurang begitu hype. Mungkin ini terjadi karena tanggal tayangnya yang bersamaan dengan film yang gencar dipromosikan dan memang telah ditunggu masyarakat dari lama, yakni Keluarga Cemara dan beberapa film lokal lainnya. Film Swing Kids di Indonesia memang kurang dilakukan sounding. Bahkan, ketika saya menonton tadi hanya ada sekitar delapan hingga belasan orang dalam satu audi. Di beberapa bioskop lain, film ini hanya sempat tayang satu hari sebelum diganti dengan judul film lain yang lebih laris. Namun, di negeri asalnya, fim ini mampu menduduki urutan lima film teratas hingga beberapa pekan setelah tanggal tayang perdana.

Apabila Anda mencari referensi film drama musikal yang juga berisikan adegan action-comedy berbobot, film ini dapat menjadi salah satu rekomendasi saya. Sekian obrolan film -yang mencoba mirip-mirip review- saya kali ini. Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan. Semoga bisa bermanfaat dan bisa sering-sering lagi saya buat tulisan seperti ini. Happy watching!



You Might Also Like

0 komentar