Ingin Keluar dari Sekolah

Februari 04, 2019



Akhir-akhir ini ada hal yang mengganjal di benak saya. Semua bermula ketika perjalanan pulang ke Pekalongan naik kereta. Kursi di belakang saya diisi beberapa mahasiswa perempuan yang sedang heboh cerita tentang masa SMA mereka. Saya yang tidak punya kerjaan pun akhirnya mendengarkan pembicaraan tersebut selama perjalanan. Menariknya, hal yang mereka bicarakan dengan amat lantang ini sebenarnya cukup terlarang untuk dibahas di ranah publik.  Apa yang sedang mereka bahas adalah bocornya soal ujian nasional.

Saya kurang begitu mendengar secara lengkap keseluruhan ceritanya, Namun, isinya kurang lebih seperti ini. Dua dari mereka menceritakan bahwa siswa satu sekolah membeli kunci jawaban dengan iuran uang kas. Kemudian, kunci dipegang oleh satu orang dan didistribusikan ke seluruh siswa. Ujian yang mereka jalani berbasis UNBK. Siswa yang mengikuti kloter ujian pertama bertugas memotret soal dan membagikannya di grup chat kepada peserta ujian kloter berikutnya. Siswa yang belum ujian membantu mengerjakan soal tersebut dan membagi jawabannya kepada kloter satu. Alhasil, baik kloter pertama, kedua, maupun ketiga sama-sama sudah mendapat soal dan pembahasan. Ujian semakin terasa leluasa dengan pengawas yang diam saja di depan, seolah mendukung perbuatan para peserta ujian. Kurang lebih begitulah ceritanya.

Menarik bukan? Jangan pikir penulis tidak mengalaminya. Saya bukan orang yang sok suci ko. Sudah penulis sebutkan sebelumnya bahwa hal ini adalah rahasisa publik. Penulis memang tidak membeli kunci jawaban, buat apa menghabiskan uang hanya demi nilai di atas kertas yang bisa dimanipulasi? Namun, penulis mengalami kejadian ujian berkloter yang membuat seluruh siswa bisa bekerja sama mendapatkan jawaban. Apalagi penulis mengalami UNBK masa-masa awal dimana masih terdapat sekolah lain yang menjalankan ujian tertulis. Soal ujian dari sekolah dengan ujian tertulis pun menyebar luas. Kami yang melaksanakan UNBK menjadikan soal tersebut menjadi soal latihan, eh ternyata yang keluar malah persis bentuknya. Jadilah kami amat terbantu ketika mengerjakan UNBK, sudah tahu pembahasan soalnya hehe.

Lantas, jika begini adanya, apa gunanya kita melaksanakan ujian nasional? Mungkin masalah yang penulis alami hanya terjadi karena tipe soal awal UNBK masih kurang beragam. Bisa jadi, sekarang masalah itu sudah terselesaikan dengan beragamnya tipe soal. Namun, penulis rasa, masalah jual beli kunci jawaban ujian nasional, pengawas ujian yang mendukung peserta unutk menyontek, dan utamanya : mental kami para siswa yang entah kenapa selalu memikirkan bagaimana caranya bisa mendapat nilai bagus, bagaimana cara mengatasinya?

Ujian nasional seharusnya digunakan untuk menguji pengetahuan dan keterampilan siswa menyelesaikan soal. Namun, jika begini adanya maka apa gunanya mengadakan ujian nasional? Uang yang digelontorkan untuk mengadakan ujian nasional tentunya tidak sedikit. Belum lagi waktu yang dikorbankan para siswa yang sungguh-sungguh belajar menghadapi ujian nasional, mereka bisa jadi sakit hati dan merasa usaha belajar kerasnya selama ini berujung sia-sia jika kita bisa membeli jawaban ujian dengan mudahnya. Namun, kalau ujian nasional ditiadakan, bagaimana cara menguji pengetahuan dan keterampilan siswanya? Duh, jadi pusing mikirnya. Ah, orang lain juga mungkin pernah punya unek-unek seperti ini.

Ada hal lain yang jadi beban di pikiran saya. Adik saya berkulit coklat tua, ya sebutlah hitam. Dia memang terlahir dengan warna kulit seperti itu. Sekarang dia duduk di kelas XI IPS di salah satu sekolah Islam negeri. Adik saya sering kali kena bully teman-temannya karena warna kulitnya itu. Adik saya orang yang jarang sekali nangis jika dikata-katain orang lain. Sejak dulu sebenarnya dia sudah dicaci seperti itu, tapi dia orang yang amat tegar. Dia juga tidak ambil hati, tampaknya. Mungkin dalam hati dia jengkel, siapa sih yang tidak kesal diejek seperti itu? Tapi dia tidak ambil pusing. Namun, di masa SMA ini dia sudah tumbuh jadi remaja wanita. Sore-sore dia telepon saya sambil nangis, dia curhat di bully teman kelasnya, bahkan sempat dijambak jilbabnya. Kelakukan mereka sungguh keterlaluan sekali. Tapi adik saya tetap tegar. Dia Cuma ingin curhat, lalu dijalaninya lagi hari-hari sekolahnya seperti biasa.

Selain kasus bully, ada lagi yang masih buat saya bingung. Adik saya sekolah di madrasah aliyah, tapi adik saya bercerita bahwa banyak temannya yang justru tidak sholat. Adik saya bilang, di sekolah dia hampir selalu sholat sendirian. Di antara semua teman perempuannya di kelas, adik saya bilang hanya dia yang mau sholat ketika waktu istirahat makan siang. Saya tanya kepada adik saya, mungkin mereka sholat setelah pulang sekolah. Adik saya menjawab, mereka sholat kalau ada orang tua saja. Adik saya bahkan ingin sekali melaporkan itu kepada guru sekolah agar diberi nasihat. Saya meminta adik saya untuk positive thinking. Siapa tahu memang mereka sholat, hanya kitanya saja yang tidak lihat. Adik saya pernah curhat, dia hendak sholat dan justru diajak temannya bagaimana kalau tidak sholat saja. Adik saya menjawab dengan tegas bahwa dia tetap akan sholat karena memang sudah kewajibannya.

Yang saya herankan lagi, beberapa temannya memakai baju seragam ketat yang tentu saja tidak relevan dengan label sekolahnya : madrasah aliyah. Adalagi cerita bahwa beberapa temannya sering membolos jika tidak suka dengan gurunya. Mungkin ini hanya beberapa sih, mungkin juga diri saya yang terlalu sensitif. Tapi adik saya juga bercerita bahwa beberapa temannya memakai make up ke sekolah. Ya, saya maklum, mereka kan masih ABG, jadi mungkin emang begitu sikapnya.

Masih banyak lagi ragam cerita tentang kehidupan sekolah adikku. Ibuku bilang, selama proses pengambilan rapor, tidak ada proses konsultasi antara orang tua dengan wali kelas. Ibuku bilang seharusnya acara ambil rapor itu jadi ajang orang tua bertanya mengenai kelakuan dan perkembangan anaknya selama di sekolah. Seharusnya acara itu jadi ajang diskusi wali kelas tentang masalah anak didiknya dan jadi tempat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun nyatanya, ibuku bilang tidak ada konsultasi selama ambil rapor. Ibuku berniat konsultasi tetapi wali kelas seolah terburu-buru. Entah salah siapa di sini, mungkin juga ibu saya yang sungkan untuk memulai lebih dulu. Yang jelas, tidak ada konsultasi di sini, tidak ada tukar pikiran mengenai proses tumbuh kembang anak, tidak ada interaksi yang seharusnya terjadi.

Saya sedih mendengarnya. Dulu, waktu ambil rapor SD, ibu bilang bahwa ia selalu diajak konsultasi. Ketika ambil rapor di sekolah saya dulu juga selalu diajak konsultasi. Tetapi entah sejak adik saya SMP, tidak ada konsultasi. Apakah memang sudah ganti sistemnya? Menurut saya, sudah jadi kewajiban para wali kelas untuk memberi tahu wali kelas mengenai gambaran anak mereka di sekolah, sekalipun anak tersebut sudah besar, sekalipun sudah SMA, kecuali jika mereka sudah dewasa, sudah bisa mengambil sendiri keputusan yang benar, sudah kelar masa kegalauan remajanya.

Cerita lainnya adalah mengenai kemampuan adik saya. Jujur, waktu kecil, adik saya terserang suatu penyakit hingga mengalami tumbuh kembang yang lambat di masa kecilnya. Akhirnya adik saya butuh waktu lama untuk memahami suatu hal. Ia harus dituntun dengan sabar oleh pengampunya. Sayangnya, guru-gurunya mungkin kurang paham akan masalah adik saya itu. Kemampuan belajar tiap orang berbeda-beda. Saya yakin tidak ada manusia yang bodoh di dunia ini asalkan menemukan guru yang tepat. Jika ia tidak juga pandai dalam hal tersebut, berarti ia punya keahlian di hal yang lain. Semua orang pasti punya skill masing-masing. Saya pikir, sudah tugas guru untuk membuat muridnya paham atas hal yang diajarkannya. Oleh karena itu, menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Ia harus menjalankan peran menemukan bakat murid-muridnya.

Menjadi guru bukan sekadar mengajarkan pelajaran yang sudah tertulis dalam RPS, melakukan presentasi, memberi tugas, melaksanakan ujian, dan menuliskan nilainya dalam rapor. Tugas guru lebih dari itu, justru sangat berat. Guru harus mengajarkan kebaikan kepada muridnya. Seorang guru harus menjadi pelita bagi muridnya, ia menjadi penerang masa depan murid-muridnya. Murid yang dididiknya adalah manusia yang punya masa depan. Apa yang mereka ucapkan, ajarkan, lakukan, akan menjadi panutan para siswanya. Saya harap, guru-guru adik saya bisa sabar menuntun adik saya menemukan bakatnya. Saya, Ibu, dan Bapak juga berusaha sebisa mungkin membantu adik saya menemukan minatnya.

Begitu banyaknya cerita yang diujarkan adik saya mengenai dunia SMA nya membuat saya sempat berpikir bahwa lebih baik adik saya keluar dari sekolah saja hahaha. Daripada dia berangkat sekolah tetapi tidak menyukai apa yang dipelajarinya, lebih baik dia belajar sekaligus praktik apa yang menjadi minatnya. Adik saya juga berpikiran begitu, tetapi ia takut dengan omongan orang yang akan mengejeknya karena tidak sekolah. Pikirku, daripada dia hanya bersekolah untuk dapat ijazah, lebih baik dia belajar langsung mengamati lingkungan. Mungkin Steve Jobs benar. Steve Jobs keluar dari kuliah karena ia tak suka berada di kampus mempelajari hal yang bukan minatnya. Padahal dulu saya pikir keputusan keluar dari kuliah itu konyol, apalagi keluar dari universitas prestis dunia. Namun, setelah semua curhatan adik saya ini membuat saya sadar, alasan itu menjadi rasional.

Jadi, perlu tidak ya sebenarnya sekolah itu? Tentu saja penting. Terutama pendidikan. Manusia kan pembelajar seumur hidup. Jadi, sekolah bisa jadi sarana untuk mendapat pendidikan. Tapi pendidikan bukan hanya di dapat dari sekolah, melainkan dari mana pun. Pendidikan yang bagus ya harus bagus semua elemennya, gurunya, fasilitasnya, kondisinya, harus siap semua kan?

Yah, walaupun kita tahu bahwa menciptakan sistem pendidikan yang sempurna dengan guru yang sangat memahami tiap detail sifat muridnya, ujian yang sangat baik sehingga bisa menggali dan memaksimalkan bakat tiap siswa, dan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan mental, perilaku, dan sifat amatlah utopis. Namun, saya harap kita bisa mencapai itu. Saya harap, kita bisa menyelesaikan tiap masalah di pendidikan manusia Indonesia satu per satu sehingga bisa membentuk jiwa-jiwa unggul. Yah, walaupun saya sendiri tentu bukan orang yang unggul. Kesimpulannya, saya jadi ingin buat sekolah sendiri yang sesuai keinginan saya tadi, sekolah yang asyik tapi mendidik. Bisa tidak ya? Ah, mungkin ini akan jadi cita-cita saya. Jadi, doakan saja hehehe.

You Might Also Like

0 komentar