Cuat-cuit Driver Go-Car
Februari 09, 2018Seminggu yang lalu aku, ibun (red: ibunda), tante, sepupu, dan nenekku menghadiri pernikahan saudara di sebuah gedung pertemuan di Pekalongan. Karena masih musim hujan, dan sodara yang mau njemput ternyata ngga jadi, jadilah kami pesan Go-Car buat ke resepsi nikahannya. Itung-itung buat ngerasain naik go-car di Pekalongan yang masih baru ada sekitar setengah tahun. Rombongan dibagi dua mobil. Aku bareng Ibun dan tante dengan dua orang anaknya. Perjalanan berangkat sopirnya diam sekali, cuma sesekali tertawa kecil saat si kecil yang duduk di kursi depan bersamaku mengoceh tak karuan. Mungkin karena masih muda (usia 20-30 tahun), jadi lebih suka diam. Sesampainya di depan gedung pernikahan, ada beberapa tukang becak yang mangkal di sana. Kayak biasa, Ibun bayar gocar lalu kami turun dari mobil. Baru mau nutup pintu mobil, tiba-tiba salah satu tukang becak nyeletuk keras sekali. Cuma Ibun dan aku yang mendengarnya, tante-tante yang lain sibuk salaman dengan orang-orang.
“Enak
yo saiki nganggo go-car. Ra gelem nanggo becak. Sing sugih dadi tambah sugih.”
(Enak ya sekarang pakai go-car. Ga mau pake
becak. Yang kaya jadi makin kaya)
Kurang lebih begitu yang
tukang becaknya ucapkan dengan nada
tinggi. Aku cuma tersenyum, bukan kepada tukang becaknya, kepada tamu-tamu lain
yang menyapa kami, hehehe. Kaget banget waktu digituin sama tukang becak, baru
pertama kali ngalamin kayak gini. Tapi yasudahlah, paling juga amarah sesaat.
Pulangnya, kami gamau lagi naik go-car di dekat abang tukang becak itu, takut
dimarahain lagi. Jadi kami naik go-car lewat pintu yang sebelahnya. Kali ini
dapet supir yang sudah bapak-bapak. Bapak itu ramah banget, ngajak ngobrol dan
terkadang ikut nimbrung obrolan kami. Bapaknya asli Pekalongan, tinggal di
kabupaten. Entah gimana awalnya tiba-tiba kami ngobrol tentang rasanya jadi
supir go-car.
Awalnya aku dan Ibun cerita
tentang tukang becak tadi. Bapaknya lalu bilang, dia pernah membawa penumpang
yang membuatnya takut, tiga orang banci (waria). Kata bapak supir, waria itu
ribut sekali, bertengkar sana-sini, menelepon orang, marah-marah. Waria yang
duduk di sebelah supir yang mengatur dua waria di kursi belakang, dia dipanggil
Mami oleh dua waria di belakang.
“Wah, takut banget saya mbak bawa penumpang kayak gitu”. Bapaknya ngga merasa
canggung cerita ke aku yang jauh lebih muda, seusia anaknya mungkin. Ibu dan
tante di belakang tertawa.
“Saya
pikir mbak, kalau waria yang dalam Islam aja ngga boleh, bisa dapat rezeki.
Apalagi tukang becak yang bener. Kalau rezeki mah udah ada yang ngatur,” Bapak
supir itu melanjutkan obrolannya.
Benar banget apa yang dikatakan
pak supir. Tapi aku juga merasa iba dengan mereka. Kalau semisal tukang becak
tadi sudah tua-renta, tinggal sebatang kara, ngga punya keahlian selain narik
becak, dengan adanya taksi online
yang lebih murah, lebih nyaman, dan lebih aman, gimana bisa para tukang becak
dapat orderan narik? Kalau dilogika susah sekali menemukan jawabannya. Tapi
Tuhan pasti punya cara untuk menurunkan rezekinya. Tinggal tukang becak itu
memilih, hendak bagaimana dia menyikapinya : bekerja dengan tekun, rajin
sholat, doa, dan tabah, atau mengeluh, lesu dalam bekerja, dan mengutuk
orang-orang yang tidak mau naik becak dengan hati marah. Mungkin memang
pendapatan yang didapat turun. Tapi rezeki Tuhan tidak selalu berupa uang,
tetapi juga keberkahan, sehat, kebahagiaan, bahkan napas yang sesak sekalipun
itu adalah rezeki.
Uang yang sedikit tapi bisa untuk
makan tempe penuh protein dan nasi dengan karbohidrat yang cukup itu lebih baik
daripada uang yang banyak untuk jalan-jalan ke mall, membeli baju mahal tapi
kurang kain, membeli tiket bioskop yang isi filmnya tidak bermanfaat, atau untuk
karaoke-an dengan lirik yang jauh dari ayat-ayat Qur’an. Lebih baik rezeki
sedikit tetapi berkah daripada sebaliknya. Berkah adalah rezeki yang seharusnya
kita syukuri. Tapi saya juga belum bisa maksimal menerapkannya, masih suka
ngeluh kalau uangnya tinggal sedikit, masih suka nonton di bioskop,
nyanyi-nyanyi ngga berfaedah, dan kegiatan unfaedah lainnya.
Perkataan Bapak Supir itu
menciduk aku banget. Aku sama saja dengan tukang becak tadi, khawatir akan rezeki
yang akan kita dapat padahal kita punya Allah yang Maha Pemberi dan pemilik
segala rezeki. Yah, namanya manusia, mudah mengatakan tapi sulit mempraktikkan.
Tapi kita tetap harus berproses buat bisa jadi manusia yang lebih baik, walau
sedikit demi sedikit karena lama-lama akan jadi bukit. Klise memang, tetapi begitulah adanya.
Kami berganti topik berbincang
mengenai permasalahan di ranah taksi online.
Bapaknya bilang, dari Dinas Perhubungan minta empat syarat kepada perusahaan
taksi online yang kata Bapaknya sampai
saat ini masih digodok.
Pertama, dishub pusat (red :
Kementerian Perhubungan) meminta kuota supir taksi online harus dibatasi. Kedua, mobil taksi online diberi stiker yang menandakan bahwa itu mobil taksi online. Ketiga, pengemudi harus punya
SIM A, bukan SIM B apalagi SIM C. Keempat, mobil harus diuji KIR.
Supir itu tidak setuju dengan
syarat yang kedua. Aku juga sependapat. Bapaknya bilang, emang ini
menguntungkan buat penumpang karena bisa dengan mudah mengenali kalau itu mobil
taksi online yang ia pesan. Namun, di
sisi lain juga merugikan para supir taksi online.
Mobil yang dipakai buat melayani order kan bukan mobil milik perusahaan, tapi
mobil pribadi. Kalau para supir taksi online
ini lagi jalan-jalan sama keluarga nanti dikira pakai taksi online, padahal itu kan mobil pribadi
mereka. Beliau bilang kalau misal aturan itu disahkan, ia akan keluar dari
bekerja sebagai supir taksi online.
Teman-temannya juga bilang hal serupa, memilih keluar daripada menempeli mobil
dengan stiker identitas taksi online.
Sisa perjalanan kami ngobrol
banyak hal, aku sudah lupa bahasnya apa aja. Yah begitulah kiranya pengalaman
naik go-car pertama di Pekalongan, walau ngga ada bedanya sama naik go-car di
Jakarta, sama aja naik mobil kan? Serunya naik moda transportasi online ini selain cepat, murah, aman,
dan nyaman, juga bisa mengulik berbagai cerita dari si driver. Terkadang, aku juga keceplosan curhat sama drivernya kalo nyaman diajak ngobrol.
Seperti saat nge-go-car bareng bapak driver
yang tadi, selain dapat cerita tentang pengalaman jadi pengemudi taksi online, aku juga dapat sudut pandang
baru tentang bagaimana menilai rezeki seseorang. Semoga ceritanya bermanfaat
walau ngebosenin pasti waktu dibaca. Sekian, terima kasih.
Ketika sulit tidur,
Batang, Jawa Tengah
8-9 Februari 2018
3 komentar
super!
BalasHapuswaduduh, bang galang mampir di blog saya, terharu saya :))
HapusBacklink siss
BalasHapus